Permintaan Terakhir Seorang Ayah


Ilustrasi Kompas
Credit Photo

Pernahkan kita bertanya, apa sih yang sebenarnya membuat hidup kita berarti di dunia ? Tidak salah apabila jawabannya adalah kekayaan, jabatan, kehormatan dan kesehatan. Itu manusiawi sekali. Sebagai manusia pasti berharap itu semua.

Sedikit berbeda dengan kebanyakan orang, saya masih saja meyakini bahwa hidup menjadi berarti ketika kedua orang tua masih menemani hari-hari saya. Bisa mengabdi dan membahagiakannya. Rasanya itulah yang membuat saya berharga sebagai manusia. Sayang sekali, kesadaran itu muncul terlambat. Saya begitu menyesal, sangat menyesal !    

Ayah ! Seminggu sebelum waktu yang telah ditetapkan-Nya, saya masih melihat senyum diantara guratan-guratan wajah yang sudah menua. seperti biasa, saya menanyakan bagaimana kesehatan ayah. Ayah tersenyum seolah melupakan rasa sakit yang dideritanya. Bahkan, meminta dipijat kaki dan tangannya. Juga minta dicebokin.  

Sudah sekian lama ayah sakit. Sebelum sampai parah, masih saja dipaksakan untuk bekerja. Berbagai macam komplikasi penyakit telah membuat ayah semakin lemah. Hypertensi, gula darah dan tumor hati begitu kata dokter. Saya tidak bisa langsung menjaga dan merawat ayah karena harus ikut suami. Adek dan ibulah yang merawat. Seminggu sekali saya sempatkan menengok beliau. 

Sebagai seorang anak, saya inginnya berbakti. Saya sering membujuk ayah tinggal bersama. Tetapi ayah lebih memilih untuk tinggal dirumah sendiri. Demi Allah, saya dan suami sesungguhnya senang bila ayah mengiyakan ajakan saya itu. 

Empat hari sebelum kembali ke haribaan-Nya, ayah mengunjungiku. Ayah minta di masakan sayur lodeh. Saya melihat ayah begitu lahap menyantap sayur lodeh di temani cucunya, Arya, yang kala itu masih berumur 4 tahun. Saya menyembunyikan air mataku karena rasa senang dikunjungi ayah. Tak disangka itulah kunjungan terakhir ayah untukku. 

Kamis siang jam 12.00, adek menelponku, "Mbak, ayah kritis !". Ya Allah, aku menjerit dan menangis seketika. Saya langsung menelpon suami minta ijin untuk sesegera menjenguk ayah sendirian dan suami berangkat dari tempat kerjanya. 

Perjalanan sampai ke rumah Ayah membutuhkan waktu hampir satu jam dan harus berpindah mobil omprengan dua kali. Waktu serasa berjalan melambat, sangat lambat. Saya tidak mungkin memaksa sopir menuruti kehendakku dan mengorbankan penumpang-penumpang lain.  

Saya berdoa sebisa-bisanya sepanjang perjalanan yang serasa lambat itu. Ya Allah, tunda dulu engkau mengambil ayahku hingga aku bersimpuh dikakinya dan meminta maaf atas segala salah dan khilafku selagi ayah masih bisa mendengar. Itu pintaku ! 

Setengah jam berlalu, Selulerku kembali berbunyi lagi. "Mbak, Ayah wis ora ono ( Ayah sudah tidak Ada)", Kata adekku diujung telpon. Aku menangis tertahan diantara penumpang omprengan yang berdempet-dempetan. Sesampainya dirumah, saya langsung memeluk jasad ayah dan menangis sejadi-jadinya. Mohon ampun atas segala kesalahan dan kekhilafan kepada beliau. Saya sadar bahwa selama ini belum pernah bisa membahagiakannya. Walaupun tidak tidak sekelipun ayah memintanya. 

Sepertinya Allah telah memberikan firasat sebelumnya. Sayang sekali, karena kedangkalan pemahaman saya tidak bisa menangkapnya secara sempurna. Permintaan ayah untuk dipijat, dicebokin dan dimasakkan sayur lodeh menjadi permintaan terakhirnya kepada saya. Seolah ayah mau bilang, "Ayah sudah menerima pengabdian dan balas budimu sebagai anak, nduk. Iklaskan ayah." Semoga seperti itu adanya.

Saya seperti tidak berharga. Karena belum bisa membuat ayah bahagia. Bahkan di saat ajal menjemput pun tidak disampingnya. Andai saja Allah menginjinkan untuk meminta satu permintaan, maka saya pasti meminta Allah mengembalikan ayah dan kesehatannya. Walaupun nyawaku sebagai tebusannya. Saya rela !     

#MenjelangMendakKeduaAlmAyah
#Jangansiasiakanorangtuakitaselagibisa


Komentar

  1. bersyukur bisa dekat sama ayah hingga akhir hayat mak...ayah saya meninggal justru saat say belum lahir...hiks...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mak enci, tetapi sungguh saya merasa menyesal sekali belum bisa membahagiakan beliau...Mak Enci barangkali malah lebih menyesal lagi ya karena tidak sempat melihat Ayahanda...:(

      Hapus
  2. turut berdukacita ya mak.. kalau aku, ibuku yang sudah tiada. dulu juga sebelum meninggal minta dibuatkan sayur tapi sayur bobor, padahal aku ga bisa masak benar benar perjuangan banget. emmang kalau masih ada ayah dan ibu itu luar biasa indahnya.. patut disyukuri .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mak Agustina. Terima kasih. Semoga Orang tua kita yang sudah meninggal mendapat tempat terindah di sisi-Nya.

      Hapus
  3. Turut berduka cita mbak. Jangan abaikan orang tua, agar kelak anak kita tidak mengabaikan kita.

    BalasHapus
  4. Turut berduka ya, Mbak Yuni. Aku terharu baca tulisan ini :"(

    BalasHapus
  5. saya terharu bacanya mba, saya dulu juga ditinggal ayah pada usia belia, kelas 2 SD (usia 8 tahun kalo ga salah)
    ya pasti ada hikmah dibalik kisah hidup kita, apa yang terjadi sekarang pasti ada dampaknya dimasa depan,mungkin mbak harus lebih bisa bersyukur masih memiliki seorang ibu dan adik,sayangilah mereka,dan pandai pandailah bersyukur

    oh iya mbak,cara follow blog ini gimana ya? saya bingung tombol follow nya dimana (ndeso bgt saya) -_-

    BalasHapus
  6. @agil - Iya, terima kasih Supportnya...Follow Blog bisa kok...di footer ada gambar tulisan join Jeng yuni's Blog :

    BalasHapus
  7. kisah yang penuh ispirasi dan banyak sekali hal-hal positif nya

    BalasHapus

Posting Komentar

HIMBAUAN BERKOMENTAR :
1. Tersenyum Dulu | 2. Berkomentarlah sesuai dengan artikel diatas | 3. Gunakan Open ID / Name Url / Google+ | 4. Gunakan Bahasa Yang Jelas | 5. Jaga Kesopanan Ingat Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE :) | 6. Jangan Nye-SPAM | 7. Maaf, link aktif otomatis terhapus| 8. Jangan Berpromosi | 9. Jangan minta transfer pulsa | 10. Begitulah.

Postingan Populer